Dua tahun yang lalu, saya terlibat dalam perbincangan untuk membuat rencana usaha bersama rekan-rekan saya. Dalam hal ini kami menerapkan manajemen strategi. Mereka ingin mendirikan sebuah warung kaki lima. Pertanyaannya adalah apa yang harus dijual. Sedangkan di daerah kami sudah cukup banyak kompetitor. Hampir semua jenis makanan populer yang ada di Indonesia ada seperti nasi goreng, pecel lele, kwetiaw, mie rebus, sate kambing, sate ayam, dan warteg. Akhirnya rekan-rekan saya ingin mencoba menu yang belum ada. sebuah prinsip pemasaran klasik, jika tidak bisa menjadi yang pertama maka jadilah yang berbeda. Mau jualan pecel lele tentu tidak bisa karena makanan itu paling banyak yang jual di daerah kami saat itu.
Teman saya menggunakan prinsip blue ocean strategi daripada harus berdarah-darah dengan menu-menu populer tersebut. Mereka memutuskan untuk berjualan pecel sayur khas salah satu daerah asalnya yaitu, pecel ponorogo. Blue Ocean Strategy (strategy lautan biru) merupakan strategi bisnis dengan mencoba untuk menawarkan barang atau jasa yang baru dan seringkali dilupakan oleh pebisnis lain.
Tentu saja, penerapan strategi blue ocean ini sangat berbeda dengan para pengikut. Bukan seperti kebanyakan pengusaha yang ikut-ikutan jualan komoditas tertentu yang sudah diuji pasar. Melihat banyak yang sukses dengan jualan barang atau jasa tertentu, beberapa pengusaha ‘tergerak’ membuka bisnis yang sama. Sebagai contoh adalah penjual mie ayam yang semakin menjamur karena terbukti ‘sukses’ di pasaran. Akan tetapi diantara penjual mie ayam harus bersaing dengan pangsa pasar yang semakin menipis.
Barangkali para pembaca web sudah ada yang mengenal pecel ponorogo. Jenis pecel ini didominasi oleh sayuran dengan sambal kacang yang sedap. Tapi umumnya tidak dijual di malam hari. Kebiasaan di daerah asalpun, pecel dimakan di siang hari. Bahkan ketika saya memperkenalkan warung teman saya itu tadi, beberapa mengernyitkan dahi, "malam hari?" Tidak umum memang. Tapi apa yang terjadi? Dalam waktu 2,5 jam rata-rata pecelnya sudah habis. Bahkan saya sendiri pernah beberapa kali tidak bisa membelinya karena kehabisan.
Satu tahun kemudian, melihat teman-teman saya sukses dengan pecel sayurannya, mulailah buka warung-warung pecel sayuran di daerah setempat. Tidak ada rasa tersaingi karena teman saya tadi sudah memberikan trade-mark Pecel Ponorogo sedangkan bukanya malam hari. Sedangkan para ‘pengikut’ itu buka di siang hari. Melihat kesuksesan di warung yang awal, akhirnya pecel ini membuka cabang di tempat lain. Qodarullah, ternyata tidak sesukses sebelumnya. Faktor kunci sukses selain pecel sayuran adalah tempat.
Tempat jualan pecel yang sebelumnya bukanlah tempat yang permanen. Warung hanya berdiri di atas sebuah tenda. Selain itu, tempat warung adalah pusat jajanan malam di daerah setempat. Kiri kanannya ada penjual mie ayam, nasi goreng, sate kambing-ayam, soto ayam, gorengan, dsb. Bagi sebagian orang, mungkin penjual yang lain ini akan menjadi saingan. Bagi orang yang jeli melihat pasar, tempat seperti itu justru menguntungkan. Berjualan dengan para kompetitor di sebuah tempat justru akan banyak mendatangkan pembeli.
Prinsipnya adalah (1) ketika calon pembeli datang, dia mungkin tidak sendiri dan tidak semuanya menginginkan menu yang sama (2) calon pembeli akan tertarik datang ke sebuah tempat yang memberinya banyak pilihan. Itulah satu faktor kesuksesan pecel ponorogo yang diberi nama Pecel Qulub itu. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa, menjadi pembuat tren dalam usaha itu sangat menguntungkan apalagi dengan menjalin kerjasama dengan para kompetitior akan semakin memajukan usaha kedua belah pihak. Banyak ide usaha yang harus dikembangkan, saatnya membuat tren dan menjalin kerjasama. Pelanggan butuh sesuatu yang berbeda.
sumber : http://pengusahamuslim.com/mengubah-persaingan-menjadi-keuntungan-dengan-1798#
0 komentar:
Post a Comment