Pages

Monday 19 January 2015

Tren Obat Herbal-Herbal Rumahan Praktis untuk Balitaku

Bagi para ibu baru (new moms) tidak ada hal yang ribet jika kita mau mengerti apa yang baik dan sesuai diinginkan anak-anak kita. Komunikasi tak cukup 2 arah tapi bisa berbagai arah, tak hanya komunikasi verbal, tapi juga komunikasi bahasa tubuh anak dan kita, agar ikatan ibu dan anak semakin erat. 


Bagi para ibu baru (new mom) atau ibu muda yang hidup di jaman modern dengan perkembangan teknologi yang pesat seperti sekarang ini cukuplah mudah memperoleh alternative cara dan teknologi pengobatan untuk keluarga kecilnya.  Dengan banyaknya fasilitas dan layanan kesehatan di rumah sakit, ataupun di dokter keluarga, didukung berbagai obat berupa pil, sirup bahkan puyer (pil yang dihaluskan) akan semakin memudahkan para ibu muda ini merawat anak-anaknya terutama yang masih balita. 

Tak ada salahnya memilih alternative cara dan teknologi pengobatan modern tersebut. Jujur saja sebagai ibu muda dengan 2 balitapun saya juga menggunakan alternative pengobatan tersebut. Yah namanya juga sedang sakit, jangankan anak-anak, kalau kita sakitpun kita merasa tidak nyaman dan pengen segera sembuh.  Jujur saja pada dasarnya saya seorang minimalis, suka hal-hal yang bisa dikerjakan dengan cepat (instant), yach bisa disebut kalau ada cara yang “instant” kenapa cari cara yang ribet.  Namun hal itu berubah ketika saya menjadi seorang ibu untuk balita pertamaku , Aisha. Meski aku suka hal-hal yang bisa dibilang “instant” tapi aku ingin keluarga kecilku sehat. Sejak hamil aku mulai browsing mengenai kesehatan ibu, balita dan keluarga, dan yang sering kutemui banyak yang menyarankan kembali ke yang “alami”. 

Alami atau bahan herbal itu yang sekarang kembali menjadi focus para ibu. Weitss, sekilas pikiran “ribet” langsung menggelayut dibenakku, kebayang bagaimana mengurus buah hati yang masih kecil lalu menyiapkan keperluannya sebisa mungkin secara “alami”. Ya, saya yakin pikiran itu sering muncul di pikiran para ibu baru (new moms).
Tenang, para ibu baru (new moms) ternyata itu ga se”ribet” yang ada di pikiran kita. Sebagai referensi dari pengalaman saya sebagai perantau, saya memang berusaha mandiri, begitupun ketika anak pertama saya lahir, Aisha, (ibu saya hanya mendampingi saya selama 1 minggu pasca melahirkan), saya merawat anak sendiri, dari memandikan hingga segalanya. Saya juga seorang pekerja, yang pada saat itu memang bisa mengambil cuti di 3 bulan total pasca melahirkan.  Dalam kurun waktu cukup singkat itulah saya banyak belajar. Di 3 bulan pertama biasanya seorang bayi akan mendapat beberapa kali imunisasi yang biasanya disertai panas tubuh. Seperti yang saya sebutkan diatas, sebagai ibu baru sayapun menerima resep yang dokter/bidan berikan salah satunya “paracetamol” sebagai obat yang sudah dikenal masyarakat luas yang direferensikan sebagai penurun panas yang aman untuk bayi bahkan usia baru lahir. Namun anakku aisha, malah muntah. Sebagai pasangan muda, saya dan suami kebingungan, kamipun meminta saran dari orangtua. Dari orangtua kami disarankan untuk memberi #obatherbal(1) air rebusan parutan kunir (kunyit,red) ditambah dengan madu. Padahal yang kutahu (hasil browsing berbagai artikel kesehatan bayi) untuk bayi sebelum 6 bulan tidak boleh diberi madu, dan kunyitpun sangat rentan terhadap pencernaan bayi. Dengan sedikit kebingungan, akhirnya kupilih jalan tengah kubuat parutan kunir (kunyit,red) seruas jari, kemudian direndam air panas (1/2 cup gelas bayi) lalu disaring kemudian ditambah dengan madu setengah sendok teh. Selain itu orangtua juga menyarankan untuk memberi  #obatherbal(2) “baluran” parutan bawang merah, jeruk nipis dan minyak kayu putih, lalu bayi “dibedong” (dibungkus selimut/kain, bentuk kepompong, red).  Sayapun masih ragu hal ini, karena di sebuah artikel kalau sedang panas, anak atau balita jangan dibedong, akhirnya saya mengambil jalan tengah kembali dengan tetap memberi baluran dan menyelimuti Aisha tanpa dibungkus seperti kepompong (hanya diletakkan selimut sebagaimana normalnya memakai selimut). Tak hanya itu orangtuapun mengingatkan untuk senantiasa mengompres dahi anak kita. Hal ini juga sedikit ada perbedaan antara penggunaan kondisi air yang digunakan untuk mengompress. Orangtua menyarankan air es, suami pernah baca jangan menggunakan air es tapi air hangat, dan akupun disarankan dokter jangn menggunakan air mentah karena bisa ada kumannya. Alhasil kami mengompres pakai air matang (air yang sudah direbus dan dibiarkan dingin suhu kamar, atau air mineral untuk minum, red). Dan Alhamdulillah cara-cara tradisional menggunakan herbal itu ampuh menurunkan panas Aishaku. Pelajaran yang kuambil dari sini adalah Pertama mungkin anakku lebih “cocok” menggunakan cara alami /tradisional/herbal itu, meskipun aku tetap menyediakan paracetamol di kotak obat sebagai cadangan cara “instant” jika mendesak. Kedua, ternyata setelah kita mau dengan sabar dan ikhlas, racikan obat herbal yang kesannya “ribet” bisa kita buat dengan “sederhana” sesuai kemampuan kita dengan tetap melihat perbandingan takaran yang ada.  

Dengan bahagia 3 Bulan pertama sudah terlewati penuh pembelajaran,tahap selanjutnya memberikan ASI Eksklusif pada balita anda hingga 6 bulan. Alhamdulillah rentang waktu 3-6 bulan tak ada kendala signifikan dalam perkembangannya selain panas setelah imunisasi. Berlanjut  fase bayi menuju MPASI, yaitu antara 6 ke 7 bulan. Di saat itu pula bersamaan ada imunisasi campak. Tak kuduga setelah imunisasi campak, Aisha malah badanya merah-merah dan diagnosis dokter dia terkena campak, sempat down dan sempat menyesal dan bertanya apa teori pemberian imunisasi itu malah memebri penyakit pada anak itu benar? Atau memang daya tubuh anakku yang sedang turun sehingga tidak bisa membentuk antibody dari proses imunisasi itu? Entahlah. Jawaban dokter kurang memuaskan namun tak membuatku putus asa, akhirnya aku kembali ke herbal kembali. Kuperoleh resep untuk memberikan lidah buaya dan diberikan air rebusan daun sirih ketika mandi. Eits menurut dokter sakit campak tak boleh mandi sebagaimana sakit cacar, maka kuambil jalan tengah kembali, dengan membasuh badan Aisha dengan air rebusan daun sirih (3 lembar atau maximal 7 lembar), #obatherbal(3) yang menurut para ahlipun daun sirih ini mengandung anti septik untuk membasmi kuman. Lalu saat siang hari kuberi gel dari lidah buaya #obatherbal(4) (lidah buaya 1 helai/tangkai yang sudah dikupas bersih kulit dan durinya). Alhamdulillah penyembuhan dengan obat herbal memang relative lebih lama dari obat kimia, namun insyaallah lebih aman asal kita tidak berlebihan dalam dosis penggunaannya dan ingat untuk selalu mencuci bersih sebelum diolah.
MPASI memang masa mulai sedikit membutuhkan waktu, yups karena dari awal sudah kutanamkan dalam diriku aku ingin anak-anak dan keluargaku sehat, maka dengan beberapa referensi yang ada aku belajar membuat MPASI sendiri secara alami. Dari bubur tepung beras yang dicampur susu murni (bubur lemu istilah jawa, red), pure buah, pure sayur, bubur lemu campur pure sayur, setelah Aisha berumur 1 tahun bubur lemu diganti bubur nasi atau kadang nasi lembut, ditambah dengan sayur tanpa gula tanpa garam namun sudah memakai kaldu alami dari ayam, daging, ikan. Dalam rentang waktu 6 – 12 bulan itu, suatu saat mungkin ibu pernah merasakan kelelahan dalam beraktifitas, itu normal sebagai manusia bahkan sebagai ibu yang dituntut multi tasking. Itupun saya alami, dan saya mengambil alternative untuk memberi Aisha makanan instant seperti bubur bayi instant.  Dan sungguh hal yang di luar sangkaan saya, Aisha menolak bubur bayi instant itu, sekali suap langsung “dilepeh” (dikeluarkan dari mulutnya,red). Awalnya saya dan suami bahkan orangtua kami mengira mungkin rasa bubur yang merk A kurang enak (bubur instant dengan harga standar posyandu), kemudian kamipun mencoba merk B, merk C yang dianggap “lebih” baik secara komposisi gizi, rasa, maupun harga, namun lagi-lagi “dilepeh”. Berbagai rasapun dicoba dari berbagai merk tpi tiap baru 1 suap atau bahkan baru seujung sendok makan bayi, makanan instant itu sudah “dilepeh” oleh Aishaku. Lalu kucoba buat bubur yang biasa aku masak untuknya, dan makanya langsung lahap. Walhasil, saya sebagai ibu harus ikhlas dan sudah seharusnya berbahagia bahwa anaknya maunya masakan alami buatan mommynya. Di saat usia sudah 2 tahun, ASIpun sudah selesai diberikan, biasanya anak kita akan menyesuaikan pola makanya. Dan hal yang biasa timbul adalah susah makan, untuk yang satu ini, saya mencoba langsung dengan #obatherbal(5) parutan temulawak ditambah kunir (kunyit,red) plus madu. Cara buatnya sama dengan cara membuat jamu kunir (kunyit,red). Temulawak ini memang dipercaya mempunyai khasiat menambah nafsu makan. Sedangkan kunyit, untuk ketahanan tubuh dan madu untuk menetralisir rasa pahit temulawak.

Dari pengalaman itulah aku belajar, Pertama, bahwa setiap anak itu berbeda beda karakterisitik baik fisik maupun psikologisnya. Mungkin memang ada anak yang bisa secara gampang minum obat dari dokter. Namun mungkin bisa juga ada anak yang secara alami tubuhnya menolak untuk itu. . Kedua, bahagialah jika usahamu untuk menjaga kesehatan keluarga terutama anak-anakmu secara alami sangat disukai/dibutuhkan itu tandanya dihargai ^_^. Ketiga, jika kita sudah menjadi seorang ibu ,maka hendaklah berusaha tetap menjaga stamina tubuh karena keluarga terutama anak-anak kita butuh kekuatan ibu untuk aktifitasnya. Keempat,  Jika ingin semakin mudah dan tidak ribet mulailah menanam di pot-pot kecil di taman mungil rumah anda tanaman-tanaman herbal itu agar bisa digunakan seaktu-waktu, meskipun pada dasarnya sangat mudah didapat di pasar. Dan untuk terakhir  kalinya bagi para ibu baru (new moms) tidak ada hal yang ribet jika kita mau mengerti apa yang baik dan sesuai diinginkan anak-anak kita. Komunikasi tak cukup 2 arah tapi bisa berbagai arah, tak hanya komunikasi verbal, tapi juga komunikasi bahasa tubuh anak dan kita, agar ikatan ibu dan anak semakin erat.

Artikel ini telah diikut sertakan dalam writing blog contest di bisnis.com (bisnis indonesia) :

0 komentar:

Post a Comment